WeLCome

Kamis, 12 Juni 2014

solutio plasenta

Makalah Solutio Plasenta


I. PENDAHULUAN
Solusio plasenta adalah terlepasnya plasenta sebagian atau seluruhnya dari tempat implantasinya sebelum janin lahir yang implantasinya di atas 22 minggu. Solusio plasenta biasa juga disebut  placental abruption. Plasenta normalnya terlepas setelah anak lahir, pelepasan plasenta sebelum minggu ke-22 disebut abortus dan jika terjadi pelepasan plasenta pada plasenta yang rendah implantasinya disebut plasenta previa bukan solusio plasenta. Perdarahan akibat solusio plasenta biasanya merembes diantara selaput ketuban dan uterus,  kemudian  keluar melalui serviks, menyebabkan perdarahan eksternal (revealed hemorrhage). Terkadang darah tidak keluar tetapi tertahan di antara plasenta yang terlepas dan uterus, serta menyebabkan perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage). Solusio plasenta dapat total atau parsial. Solusio plasenta dengan perdarahan tertutup menimbulkan bahaya yang lebih besar bagi ibu, tidak saja karena kemungkinan koagulopati konsumtif tetapi juga karena jumlah darah yang keluar sulit diperkirakan. Solusio plasenta sebenarnya lebih berbahaya daripada plasenta previa bagi ibu hamil dan janinnya. Pada perdarahan tersembunyi (concealed hemorrhage) yang luas di mana perdarahan retroplasenta yang banyak dapat mengurangi sirkulasi uteroplasenta dan menyebabkan hipoksia janin.(1,2,3)

II. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan pervaginam ringan merupakan hal yang lazim selama persalinan aktif. “Bloody show” ini terjadi akibat pendataran dan pembukaan serviks disertai robeknya pembuluh-pembuluh vena halus. Perdarahan uterus dari tempat diatas serviks sebelum melahirkan merupakan hal yang mengkhawatirkan. Perdarahan dapat berasal dari robeknya plasenta yang terletak di tempat lain di rongga uterus seperti solusio plasenta. Lipitz  meneliti 65 wanita secara beruntutan yaitu hampir 1 persen dari pasien mereka yang mengalami perdarahan uterus pada kehamilan antara 14 dan 26 minggu. Hampir seperempatnya mengalami solusio plasenta atau plasenta previa. Frekuensi solusio plasenta yang dilaporkan adalah sekitar 1 dari 200 pelahiran. Ananth  mengulas 13 penelitian dengan hampir 1,6 juta kehamilan dan melaporkan insiden 1 dari 155. Seiring dengan berkurangnya jumlah wanita yang berparitas tinggi yang dirawat serta tersedianya perawatan prenatal secara luas di masyarakat dan membaiknya transportasi darurat, frekuensi solusio plasenta yang menyebabkan kematian janin telah turun menjadi 1 dari 830 pelahiran dari tahun 1974-1989 .(1)
Kejadian solusio plasenta sangat bervariasi dari 1 di antara 75 sampai 830 persalinan dan merupakan penyebab dari 20-35% kematian perinatal. Walaupun angka kejadian cenderung menurun pada akhir-akhir ini namun morbiditas perinatal masih cukup tinggi, termasuk gangguan neurologis pada tahun pertama kehidupan. Solusio plasenta sering berulang pada kehamilan berikutnya. Kejadiannya tercatat sebesar 1 di antara 8 kehamilan.(3)

III. ETIOLOGI
Penyebab primer dari solusio plasenta tidak diketahui, tetapi terdapat beberapa keadaan patologik yang terlihat lebih sering bersama dengan atau menyertai solusio plasenta dan dianggap sebagai faktor resiko.(2)
a)        Hipertensi essensial atau pre-eklampsi, karena desakan darah tinggi, maka pembuluh darah mudah pecah, kemudian terjadi hematom retropalsenta yang dapat menyebabkan sebagian plasenta dapat terlepas.(4)
b)        Trauma dapat menyebabkan tarikan pada tali pusat yang pendek akibat pergerakan janin yang banyak/bebas, versi luar, atau pertolongan persalinan(4,5)
c)        Anemia.(4)
d)       Adanya tekanan pada uterus yang biasanya di dapati pada keadaan polihidramnion ataupun setelah melahirkan kembar yang pertama(5).
Disamping itu ada juga pengaruh dari umur lanjut karena makin lanjut umur maka kemungkinan mendapatkan arteriosklerosis makin besar, multiparitas dimana didapatkan lebih banyak terjadi pada multigravida daripada primigravida, ketuban pecah sebelum waktunya, defisiensi as.folat, merokok dapat menyebabkan nekrosis dari lamina basalis, kokain dapat menyebabkan vasospasme dan hipertensi, mioma uteri.(3,4,5,6)
Kondisi yang paling sering berkaitan adalah beberapa tipe hipertensi, antara lain mencakup pre-eklampsia, hipertensi gestasional, atau hipertensi kronik. Pada studi terdahulu di Parkland Hospital terdapat 408 kasus solusio plasenta yang sedemikian berat sehingga mematikan janin, hipertensi ibu dijumpai pada sekitar separuh wanita. Separuhnya mengidap hipertensi kronik dan sisanya menderita hipertensi gestasional dan pre-eklampsia. Beberapa penelitian mendapatkan bahwa wanita hipertensi cenderung mengalami solusio yang lebih berat.(1)
IV. ANATOMI UTERUS
Uterus merupakan organ muscular, berdinding tebal, dan pipih, cekung dan berbentuk seperti buah pir yang terbalik. Rongga uterus dilapisi endometrium. Uterus wanita yang tidak hamil terletak di rongga panggul antara kandung kemih di anterior dan rektum  di posterior. Pada wanita yang belum melahirkan, berat uterus matang sekitar 30-40 gr sedangkan pada wanita yang pernah melahirkan, berat uterusnya adalah  75-100 gr. uterus normal memiliki bentuk simetris, nyeri bila ditekan, licin, dan teraba padat. Derajat kepadatan tergantung dari beberapa factor, diantaranya uterus lebih banyak mengandung rongga selama fase sekresi siklus menstruasi, lebih lunak selama masa hamil, dan lebih padat setelah menopause. Hampir seluruh dinding posterior uterus tertutup oleh serosa atau peritoneum, yang bagian bawahnya membentuk batas anterior kavum rektouterina atau disebut juga recto-uterine cul-de-sac atau kavum Douglasi. Sebelah atas rongga rahim berhubungan dengan saluran telur (tuba fallopi) dan sebelah bawah berhubungan dengan leher rahim (kanalis servikalis). Hubungan antara kanalis servikalis dan kavum uteri disebut ostium uteri internum, sedangkan muara kanalis servikalis ke dalam vagina disebut ostium uteri eksternum. Dinding rahim terdiri dari tiga lapisan. Lapisan pertama adalah perimetrium (lapisan peritoneum) yang meliputi dinding uterus bagian luar. Lapisan kedua adalah myometrium (lapisan otot), merupakan lapisan yang paling tebal terdiri dari otot polos yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat mendorong isi dari rahin pada saat persalinan. Lapisan ketiga adalah endometrium (selaput lendir) merupakan lapisan bagian dalam dari korpus uteri yang membatasi kavum uteri. Dalam keadaan kehamilan endometrium berubah menjadi desidua.(1,7,8)
Serviks merupakan bagian uterus dengan fungsi khusus yang terletak di bagian ismus. Berdasarkan perlekatannya pada vagina, serviks terbagi atas segmen vaginal dan supravaginal.(8)
Suplai vaskular uterus terutama berasal dari arteri-arteri uterus dan ovarium. Arteri  uterina  yang merupakan cabang utama arteri iliakainterna (hipogastrika), masuk ke dasar ligamentum latum dan berjalan ke medial menuju sisi uterus kira-kira setinggi ostium uteri internum dan memberi darah pada uterus dan bagian atas vagina serta mengadakan anastomose dengan arteri ovarica. Arteri ovarica berasal dari aorta masuk ke ligamentum latum melalui ligamentum infundibulo pelvicum dan memberi darah ke ovarium, tuba, dan fundus uteri. Darah dari uterus dialirkan melalui vena uterina dan vena ovarica.(8)
Kontraksi dinding uterus  adalah autonom, tidak melalui sistem saraf pusat, serat saraf yang datang dari sistem saraf pusat hanya mengkoordinasi kontraksi. Uterus dipengaruhi oleh serat-serat saraf symphatis dan parasymphatis yang menuju ke ganglion cervical yang terletak pada pangkal ligamentum sacro uterinum. Rangsangan pada ganglion ini seperti tekanan oleh kepala anak dapat menguatkan his.(8)
Ligamentum pada uterus terdiri dari ligamentum teres uteri, ligamentum latum, ligamentum infundibulum pelvicum, ligamentum cardinal, ligamentum sacro uterinum, dan ligamentum vesico uterinum. Ligament rotundum melekat ke kornu uterus pada bagian anterior insersi tuba fallopii. Struktur yang menyerupai tali ini melewati pelvis, lalu memasuki cincin inguinal pada dua sisi dan mengikat osteum dari tulang pelvis dengan kuat. Ligamin ini memberikan stabilitas bagian atas uterus. Liganmentum cardinam menghubungkan uterus ke dinding abdomen anterior setinggi serviks. Ligament uterosakral melekat pada uterus di bagian posterior setinggi serviks dan behubungan dengan tulang sacrum. Fungsi dari ligament cardinal dan uterosakral adalah sebagai penopang yang kuat pada dasar pelvis wanita. Kerusakan-kerusakan pada ligament ini, termasuk akibat tegangan saat melahirkan, dapat menyebabkan prolaps uterus dan dasar pelvis ke dalam vagina bahkan melewati vagina dan mencapai vulva. (7,8)
Tuba fallopi terdiri dari pars interstisial, ismus, ampula, dan infundibulum. Bagian interstisial tertanam di dalam dinding otot uterus. Ismus atau bagaian yang menyempit dari tuba menempel dengan uterus, sedikit demi sedikit semakin melebar ke bagian lateral, yaitu ampula. Infundibulum, atau ujung yang memiliki fimbriae, adalah lubang berbentuk corong pada ujung distal tuba fallopi.(8)
Ovarium terletak pada bagian atas rongga panggul dan bersandar pada lekukan dangkal dinding lateral pelvis diantar pembuluh darah iliaka eksterna dan interna yang divergen – fosa ovarika waldeyer. Ovarium terdiri dari bagian luar (cortex) yang berisi folikel-folikel primordial dan bagian medulla terdapat pembulih darah, saraf, dan pembuluh limfe.(1,8)
V. PROSES PEMBUAHAN DAN PEMBENTUKAN PLASENTA
Pada setiap siklus menstruasi normal, satu telur (ovum) dilepaskan dari salah satu ovarium, sekitar 14 hari sebelum periode menstruasi berikutnya. Pelepasan telur ini disebut ovulasi. Sel telur yang telah dilepaskan oleh ovum  akan menuju ke tuba. Pada ovulasi, lendir di leher rahim menjadi lebih cair dan lebih elastis, yang memungkinkan sperma masuk rahim dengan cepat. Dalam waktu 5 menit, sperma bisa bergerak dari vagina, melalui leher rahim ke dalam rahim, dan sampai ke tuba fallopi uantuk melakukan fertilisasi. Sel-sel yang melapisi tuba falopi memfasilitasi fertilisasi. Untuk membuahi sebuah ovum, sebuah sperma mula-mula harus melewati korona radiata dan zona pelusida yang mengelilingi ovum tersebut. Setelah terjadi fertilisasi atau pembuahan oleh sperma terjadi maka sel yang dihasilkan adalah zigot. Kemudian terjadi pembelahan pada zigot sehingga menghasilkan morula. Morula kemudian menuju ke uterus dan hidup dari sekresi endometrium dan terus membelah diri. Selama enam sampai tujuh hari setelah ovulasi, endometrium secara simultan dipersiapkan untuk implantasi di bawah pengaruh progesteron fase luteal. Selama waktu ini, uterus berada dalam fase sekretorik atau progestasional, mengumpulkan penyimpanan glikogen dan mengandung banyak pembuluh darah. Dalam keadaan normal pada saat endometrium siap diimplantasikan, morula kemudian berdiferensiasi menjadi blastokista yang mampu melakukan implantasi. Blastokista adalah satu lapis sel-sel berbentuk bola (sferis) yang mengelilingi suatu rongga berisi cairan dengan massa padat sel-sel (inner cell mass) yang akan menjadi janin itu sendiri. Dinding blastokista merupakan salah satu sel tebal, kecuali di suatu bagian, di mana ia adalah tiga sampai empat sel tebal. Sel-sel bagian dalam di daerah menebal berkembang menjadi embrio, dan sel-sel luar ke dalam dinding rahim berkembang menjadi plasenta. Bagian blastokista sisanya tidak akan menyatu dengan janin tetapi berfungsi sebagai penunjang selama kehidupan intrauterus. Lapisan tipis paling luar, yaitu trofoblas, bertanggungjawab menyelesaikan implantasi. Rongga cairan yang disebut blastokel akan menjadi kantung amnion yang mengelilingi dan menjadi bantalan bagi janin selama kehamilan.(9,10)
Ketika blastokista siap melaksanakan implantasi, permukaanya menjadi lengket. Blastokista melekat ke lapisan dalam uterus. Implantasi dimulai ketika sel-sel trofoblastik mengeluarkan enzim-enzim proteolitik sewaktu bersentuhan dengan endometrium. Enzim-enzim ini mencerna jalan diantara sel-sel endometrium, sehingga sel-sel trofoblas yang berbentuk jari-jari dapat menembus ke dalam endometrium tempat implantasi dilakukan. Invasi trofoblas pada endometrium menyebabkan sel-sel endometrium mengeluarkan prostaglandin yang bekerja secara lokal untuk meningkatkan vaskularisasi sehingga menyebabkan edema dan meningkatkan simpanan zat gizi. Jaringan endometrium yang mengalami perubahan tersebut disebut desidua. Pada jaringan desidua yang superkaya inilah blastokista tertanam.(10)
Lapisan trofoblas terus mencerna sel-sel desidua disekitarnya dan menyediakan energi sampai plasenta terbentuk. Simpanan glikogen dalam endometrium hanya mampu memberi makan pada minggu-minggu pertama. Untuk mempertahankan hidup di uterus, terbentuklah plasenta, suatu organ khusus untuk pertukaran antara darah ibu dan janin. Plasenta berasal dari jaringan trofoblastik dan desidua.(10)
Lapisan desidua yang meliputi hasil konsepsi ke arah kavum uteri disebut desidua kapsularis; yang terletak antara hasil konsepsi dan dinding uterus disebut desidua basalis; pada tempat itulah plasenta akan dibentuk. Saat ini lapisan trofoblastik sudah mencapai ketebalan dua lapisan yang disebut korion. Karena uterus mengeluarkan enzim dan meluas, korion membentuk suatu jaringan rongga-rongga yang meluas di dalam desidua. Dinding kapiler desidua mengalami erosi akibat ekspansi korion sehingga rongga berisi darah ibu. Terbentuk tonjolan-tonjolan mirip jari dari jaringan korion yang meluas ke dalam genangan darah ibu. Janin segera mengirimkan kapiler ke tonjolan-tonjolan korion untuk membentuk vilus plasenta. Sebagian vilus meluas secara sempurna menembus ruang-ruang berisi darah untuk menambatkan plasenta bagian janin ke jaringan endometrium, tetapi sebagian besar hanya menonjol ke dalam genangan darah ibu. Setiap vilus plasenta mengandung kapiler janin yang dikelilingi oleh selapis tipis jaringan korion yang memisahkan darah janin dan darah ibu di ruangan antarvilus. Melalui sawar yang sangat tipis inilah semua bahan dipertukarkan antara darah ibu dan janin. Plasenta menghasilkan beberapa hormon yang membantu menjaga kehamilan, misalnya plasenta menghasilkan human chorionic gonadotropin (HCG), yang mencegah indung telur dari telur melepaskan dan menstimulasi ovarium untuk menghasilkan estrogen dan progesterone. Keseluruhan sistem struktur ibu (desidua) dan janin (korion) yang saling mengunci ini membentuk plasenta.(9,10)
Plasenta adalah organ yang berfungsi respirasi, nutrisi, ekskresi dan produksi hormon. Transfer zat melalui vili terjadi melalui mekanisme difusi sederhana, difusi terfasilitasi, aktif, dan pinositosis. Difusi sederhana misalnya pertukaran oksigen, difusi terfasilitasi misalnya difusi glukosa akibat perbedaan kadar glukosa antara ibu dan janin, transport aktif misalnya traspor as.amino dan vitamin, pinositosis misalnya traspor IgG, fosfolipid, dan lipoprotein.(2)
Janin dan plasenta dihubungkan oleh tali pusar yang berisi oleh 2 arteri dan satu vena, vena berisi oleh darah penuh oksigen, sedangkan arteri yang kembali dari janin berisi darah kotor. Pada kehamilan aterm arus darah uteroplasenta berkisar 500-750 ml/menit, jika arus darah uteroplasenta berkurang misalnya pada pre-eklampsia mengakibatkan perkembangan janin terhambat. Konsep yang diterima saat ini, jika implantasi plasenta yang memang tidak normal sejak awal menyebabkan model arteri spiralis tidak sempurna (relatif kaku). Hal ini menyebabkan sirkulasi uteroplasenta  abnormal dan beresiko pre-eklampsia.(2)

VI. PATOFISOLOGI
Solusio plasenta dimulai dengan terjadinya perdarahan ke dalam desidua basalis dan terbentuknya hematom subkhorionik yang dapat berasal dari pembuluh darah miometrium atau plasenta, dengan berkembangnya hematom subkhorionik terjadi penekanan dan perluasan pelepasan plasenta dari dinding uterus. Biasanya perdarahan akan berlangsung terus-menerus/tidak terkontrol karena otot uterus tidak mampu berkontraksi untuk membantu dalam menghentikan perdarahan yang terjadi. Hematom ini semakin membesar dan menekan jaringan plasenta sehingga bagian plasenta yang terlepas juga semakin besar. Akhirnya hematom mencapai pinggir plasenta dan mengalir keluar antara selaput janin dan dinding rahim. Darah dapat berada diantara desidua dan membran yang dapat keluar melalui serviks kemudian ke vagina (pardarahan eksternal). Jika ektravasasi darah masuk hingga miometrium dan bagian bawah dari serosa bahkan sampai pada ligamentum latum dan melalui tuba masuk ke rongga panggul dapat menyebabkan couvelaire uterus yakni uterus dengan darah yang gelap kebiru-biruan, selain itu dapat menyebabkan perdarahan postpartum karena gangguan kontraksi uterus. Akibat gangguan kontraksi pada uterus dan bekuan retroplasenter menyebabkan pelepasan tromboplastin yang banyak ke dalam peredaran darah ibu, sehingga berakibat pembekuan intravaskuler dimana-mana yang akan menghabiskan sebagian besar persediaan fibrinogen. Akibatnya ibu jatuh pada keadaan hipofibrinogenemia. Pada keadaan hipofibrinogenemia ini terjadi gangguan pembekuan darah yang tidak hanya di uterus, tetapi juga pada alat-alat tubuh lainnya  (4,11,12)
Besarnya permukaan plasenta yang menjadi terpisah dari suplai darah ibu menentukan gambaran klinis dengan mempengaruhi jumlah kehilangan darah akut dari ibu dan penurunan suplai oksigen ke janin, menyebabkan gawat janin atau kematian. Pasien dengan perdarahan yang sedikit mungkin belum menimbulkan gejala pada awalnya. Kejadian baru diketahui setelah plasenta lahir, yang pada pemeriksaan plasenta didapatkan cekungan pada permukaan maternalnya dengan bekuan darah lama yang berwarna kehitaman. Darah pada desidua basalis hasil dari pelepasan plasenta menyebabkan hipoksia pada janin sedangkan darah pada lapisan serosa rahim dapat menyebabkan Couvelair Uterus. Awalnya perdarahan di dalam desidua basalis terjadi karena pecahnya arteri kecil pada lapisan desidua ibu disertai pembentukan hematoma sehingga menyebabkan nekrosis lokal. Tekanan yang dihasilkan oleh perdarahan menyebabkan plasenta terlepas. Pada kebanyakan pasien, perdarahan dari pemisahan plasenta meluas ke tepi plasenta kemudian dapat terjadi pecahnya selaput ketuban dan darah masuk ke dalam cairan amnion atau kasus yang lebih sering terjadi adalah darah berada di antara korion dan desidua vera kemudian mencapai ostium interna serviks dan vagina sehingga terjadi perdarahan ekternal (revealed hemorrhage). Jika lapisan marginal plasenta tetap melekat pada uterus disertai letak kepala janin pada segmen bawah uterus, hal ini dapat menyebabkan perdarahan yang tersembunyi (conceled hemorrhage). Banyaknya darah yang keluar melalui vagina hanya sebagian kecil dari total perdarahan yang terjadi di dalam uterus. (12,13)
Perdarahan pada solusio plasenta bisa mengakibatkan darah hanya ada di belakang plasenta (hematoma retroplasenter); darah tinggal saja di dalam rahim yang disebut internal hemorage (concealed haemorage); masuk merembes ke dalam amnion; atau keluar melalui vagina (antara selaput ketunban dan dinding uterus), yang disebut external haemorage (revealed haemorage).(13)
Solusio plasenta dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a.    Menurut jenis Perdarahan(14)
1.        Jenis perdarahan tersembunyi (concealed), perdarahan terperangkap dalam kavum uteri (hematoma retroplasenta)
2.        Jenis perdarahan keluar/ekternal (revealed), darah keluar dari ostium uteri
b.    Menurut lepasnya plasenta(4)
1.    Solusio plasenta parsialis, bila hanya sebagian saja plasenta terlepas dari perlekatannya.
2.    Solusio plasenta totalis (komplit), bila seluruh plasenta sudah terlepas dari tempat perlekatannya.
c.    Menurut derajatnya (grading)(4,15,16)
1.    Solusio plasenta ringan
a)    Perdarahan kurang dari 500 cc dengan lepasnya plasenta kurang dari 1/5 bagian
b)   Perut ibu masih lemas sehingga janin mudah di raba
c)    Tanda fetal distress belum tampak
d)   Terdapat perdarahan hitam pervaginam
e)    Tanpa gangguan pembekuan darah
2.      Solusio plasenta sedang
a)    Lepasnya plasenta antara ¼-2/3 bagian dengan perdarahan sekitar 1000 cc
b)   Perut mulai tegang, nyeri tekan uterus karena darah telah mengadakan infiltrasi di antara serabut otot uterus dan janin sulit di raba
c)    Janin mengalami hipoksia dan denyut jantung abnormal
d)   Tanda persalinan ada dan dapat berlangsung cepat sekitar 2 jam.
3.      Solusio plasenta berat
a)      Lepasnya plasenta melebihi 2/3 bagian
b)      Ibu biasanya dalam keadaan syok
c)      Perut nyeri dan tegang, bagian janin sulit di raba
d)     Darah dapat masuk otot rahim, uterus couvelaire yang menyebabkan atonia uteri serta perdarahan pasca partus
e)      Terdapat gangguan pembekuan darah

VII. GEJALA KLINIS
a.         Nyeri perut berat dan konstan, nyeri semakin bertambah jika terdapat  perdarahan yang tersembunyi.(5)
b.         Perdarahan pervaginam.(5)
c.         Uterus menjadi tegang dan nyeri saat disentuh karena isi rahim bertambah, terjadi ektravasasi perdarahan hingga ke dinding uterus. Pada kasus yang berat, darah dapat masuk ke peritoneum dan menyebabkan sulit untuk mendengarkan denyut jantung janin.(5)
d.        dapat terjadi atonia uteri. (5)
e.         Tanda-tanda syok tampak(17)
f.          Bunyi jantung janin berfluktuasi(17)
g.         Dapat terjadi hipovolemia berdasarkan beratnya perdarahan(5,11,18)
VIII. DIAGNOSIS
a. Anamnesis(4)
1)      Perasaan sakit yang tiba-tiba di perut; kadang-kadang pasien bisa melokalisir tempat mana yang paling sakit, dimana plasenta terlepas.
2)      Perdarahan pervaginam terdiri dari darah segar dan bekuan darah.
3)      Pergerakan anak mulai hebat kemudian terasa pelan dan akhirnya berhenti.
4)      Kepala terasa pusing, lemas, muntah, pucat, pandangan berkunang-kunang.
b. Pemeriksanaan Fisik(4)
1) Inspeksi
a)      pasien gelisah
b)      pucat, sianosis, keringat dingin
c)      perdarahan pervaginam
2) Palpasi
a)      Fundus uteri tampak naik karena terjadi hematoma retroplasenter; uterus tidak sesuai dengan tuanya kehamilan
b)      Uterus teraba tegang dan keras seperti papan yang disebut uterus in bois (wooden uterus) baik waktu his maupun diluar his.
c)      Nyeri  tekan terutama di tempat plasenta terlepas
d)     Bagian-bagian janin sulit teraba, karena uterus tegang.
3) Auskultasi
a)      Sulit karena uterus tegang. Bila denyut jantung janin terdengar biasanya diatas 140/menit, kemudian menurun dibawah 100 dan akhirnya hilang bila plasenta yang terlepas lebih dari sepertiga.
c. Pemeriksaan Dalam(4)
1)        Serviks dapat terbuka atau masih tertutup.
2)        Kalau telah terbuka maka ketuban dapat teraba menonjol dan tegang, baik sewaktu his maupun diluar his.
d. Tes Laboratorium(4,16,19)
1)        Hitung darah lengkap dan hapusan darah dapat mengindikasikan adanya anemia dan kehilangan darah. Penurunan nilai hematokrit pada serangkaian pemeriksaan dan memberi kesan adanya perdarahan tersembunyi. Periksa golongan darah, kalau bisa cross match test karena pada solusio plasenta sering terjadi kelainan pembekuan darah atau hipofibrinogenemia, maka diperiksa pula COT (Clot observation Test) tiap satu jam, tes kualitatif fibrinogen (fibrindex), dan tes kuantitatif fibrinogen.
2)        Urinalisis biasanya normal. Proteinuria memberi kesan adanya kaitan dengan pre-eklampsia.
e. Radiologi(20,13)
Pada pemeriksaan ultrasonographic (USG), perdarahan akut dapat terlihat hiperechoic atau isoechoic sama dengan warna plasenta. Lebih dari 1 minggu hematoma menjadi hipoechoic. Untuk itu dalam mendiagnosis dibutuhkan pemeriksaan USG beberapa kali, disamping itu pemeriksaan USG digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya plasenta previa. Hematoma preplasenta dapat terlihat mengapung pada cairan amnion saat menahan pasenta. USG dapat menunjukkan banyak perdarahan, hiphoechoic atau hiperechoic (tergantung stadiumnya) perdarahan retroplasenta dan elevasi plasenta dari dinding uterus akan tampak. Pemeriksaan USG dapat memperlihatakan perdarahan retroplasenta diantara plasenta dan miometrium.
IX. DIAGNOSIS BANDING
a. Plasenta Previa
Plasenta Previa adalah keadaan dimana plasenta berimplantasi pada tempat abnormal, yaitu pada segmen bawah rahim sehingga menutupi sebagian atau seluruh pembukaan jalan rahir (ostium uteri internal). Klasifikasi antara lain adalah plasenta previa totalis, plasenta previa parsialis, dam plasenta previa marginalis. (21)
Gejala Klinis dari plasenta previa ialah perdarahan pada kehamilan diatas 20 minggu, tanpa nyeri (painless), dan berulang (recurrent). Sebab perdarahan ialah karena ada plasenta yang robek yang berada pada segmen bawah rahim. Perdarahan bergantung pada banyak pembuluh darah yang robek dan plasenta yg lepas. Pada sebagian kasus, terutama pada mereka yang plasentanya tertanam dekat tetapi tidak menutupi ostium serviks, perdarahan mungkin belum terjadi sampai persalinan dimulai. Perdarahan ini bervariasi dari ringan sampai berat dan dapat menyerupai solusio plasenta.(1,4,21)
Mendiagnosis plasenta previa selalu harus dibandingkan dengan solusio plasenta karena keduanya merupakan jenis perdarahan pada paruh terakhir kehamilan. Untuk mendiagnosis dapat dilakukan anamnesis, pemeriksaan luar yang menunjukkan terdapat kelaianan letak plasenta, inspekulo, dan USG. Kemungkinan plasenta previa tidak boleh disingkirkan sampai pemeriksaan sesuai termasuk USG, jelas membuktikan bahwa itu bukan plasenta previa. Diagnosis plasenta previa jarang dapat dipastikan dengan pemeriksaan klinis. Dengan USG dapat terlihat jelas lokasi implantasi plasenta, sehingga dengan USG dapat dipastikan diagnosis plasenta previa. Pemakaian USG transvaginal mampu melakukan visualisasi ostium serviks pada semua kasus.(1,21)
Penatalaksanaan plasenta previa pada janin prematur tetapi tanpa perdarahan aktif adalah perawatan konservatif seperti tirah baring, infus dextrose 5%, pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan Hb, hematokrit, dan USG. Pasien dapat dipulangkan setelah perdarahan berhenti dan janin dianggap sehat. Namun jika kehamilan telah cukup bulan, terjadi perdarahan aktif, atau anak mati dapat dilakukan penanganan aktif berupa persalinan pervaginam atau seksio sesarea. Persalinan pervaginam dilakukan pada keadaan Plasenta previa lateralis/ marginalis dengan KJDR, serviks matang, kepala masuk PAP,  maka lakukan amniotomi diikuti drip oksitosin diteruskan persalinan pervaginam. Sedangkan Indikasi seksio sesarea adalah plasenta previa totalis, perdarahan banyak tanpa henti, presentasi abnormal, panggul sempit, dan gawat janin. (1,21)
b. Ruptura Uteri
Ruptur uteri atau robekan uterus merupakan peristiwa yang sangat berbahaya, yang umumnya terjadi pada persalinan, kadang-kadang juga pada kehamilan tua. Robekan pada uterus dapat ditemukan untuk sebagian besar pada bagian bawah uterus. Peregangan berlebihan segmen bawah uterus (SBR) disertai pembentukan cincin retraksi patologis pada rupture uteri. Ruptur uteri yang sebelumnya utuh saat persalinan paling sering mengenai SBR yang menipis. Robekan apabila terletak dekat dengan serviks, sering meluas secara melintang atau oblik. (1)
Gejala klinis dari ruptur uteri ialah rasa nyeri yang luar biasa saat datangnya his, terlihat tanda-tanda syok hipovolemia, pernapasan dangkal dan cepat, karena partus lama terjadi menyebabkan dehidrasi, tampak lingkaran retraksi patologis Bandl. Setelah terjadinya ruptur uteri biasanya rasa nyeri menghilang sementara dan setelah itu penderita mengeluh adanya rasa nyeri yang merata disertai dengan gawat janin, bagian terendah janin mudah di dorong ke atas, bagian janin mudah diraba dengan palpasi abdomen, dan countour janin terlihat melalui inspeksi abdomen. Pada ruptur uteri jika dilakukan pemeriksaan dalam (vaginal toucher) kadang-kadang kita dapat meraba robekan di dinding uterus yang dapat dilewati oleh jari untuk mencapai rongga peritoneum. Tidak terdeteksinya robekan buka berarti bahwa tidak terjadi ruptur uteri.(1,4,22)
Pada ruptur uteri spontan atau ruptur yang jelas sewaktu partus percobaan setelah seksio sesarea, sering dilakukan histerektomi. Ligasi arteri iliaka interna kadang-kadang mengurangi perdarahan secara bermakna.(1)
X. PENATALAKSANAAN
Setiap pasien yang dicurigai solusio plasenta harus dirujuk ke spesialis karena memerlukan monitoring yang lengkap baik dalam kehamilan maupun persalinan.(23)
Bila umur kehamilan <37 minggu/TBF <2500 g solusio plasenta ringan maka pengelolaan konservatif meliputi tirah baring, sedatif, mengatasi anemia, monitoring keadaan janin dengan kardiotokografi dan USG serta menunggu persalinan spontan.(23)
Pada solusio plasenta sedang dan berat atau solusio plasenta ringan yang memburuk, jika persalinan diperkirakan < 6 jam, diusahakan partus pervaginam dengan amniotomi dan pitosin drip. Seksio sesarea diindikasikan bila persalinan diperkirakan > 6 Jam. Pasien dengan solusio plasenta sedang atau berat, tranfusi darah atau resusitasi cairan dan pemberian oksigen pada saat terjadi syok hendaknya dilakukan terlebih dahulu sebelum tindakan obstetri. Ketuban dapat segera dipecah untuk mengurangi regangan uterus. Setelah ketuban pecah, segera berikan infus oksitosin. Pemecahan ketuban (amniotomi) dapat mengurangi syok serta mengurangi kemungkinan masuknya tromboplastin.(8,16,23)
Bila umur kehamilan 37 minggu seksio sesar diindikasikan jika persalinan pervaginam diperkirakan berlangsung lama baik pada solusio plasenta ringan, sedang maupun berat. Seksio sesarea biasanya di lakukan pada keadaan dimana solusio plasenta dengan anak hidup tapi pembukaan kecil, solusio plasenta dengan toksemia berat dengan perdarahan banyak tetapi pembukaan kecil, dan solusio plasenta dengan panggul sempit atau letak melintang. Seksio sesarea juga menjadi pilihan jika janin harus dilahirkan cepat karena mengalami gawat janin.(4,22)
Ketika fibrinogen turun mencapai <300mg/dl terjadi gangguan pembekuan darah, harus dilakukan transfusi. Transfusi dengan whole blood adalah pilihan terbaik. Histerektomi dilakukan bila ada atonia uteri yang berat, Hipofibrinogenemia dan kalau persedian darah atau fibrinogen tidak cukup.(3,4)’
Resusitasi dan mengembalikan volume darah dilakukan untuk mencegah kerusakan ginjal. Pemberian darah yang cukup  bergantung pada derajat perdarahan ibu. Paling sedikit 1500 ml darah harus ditransfusikan pada kasus perdarahan sedang, dan 2500 ml pada kasus berat, 500 ml pertama ditransfusikan secara cepat untuk mencegan gangguan ginjal dan anuria dan sisa transfusi di sesuaikan dengan kebutuhan. Darah vena diperiksa setiap 2 jam untuk mengetahui koagulopati dan jika terjadi gangguan ini harus di terapi.(8,16)
Jumlah urine yang keluar diukur setiap 2 jam. Dapat terjadi oliguria tetapi diuresis dapat timbul setelah melahirkan asalkan jumlah darah yang ditransfusikan memadai. Diuresis yang baik lebih dari 30-40 cc/jam, jika urine <30 ml/jam, harus segera di berikan bolus cairan 250-500ml.(3,8,11)

XI. KOMPLIKASI
a. Kegagalan pembekuan darah (coagulation failure), pada kasus yang berat dan perdarahan tersembunyi dapat terjadi. Gangguan pembekuan darah harus segera ditangani sebelum proses persalinan dilakukan. Transfusi dengan whole blood adalah pilihan terbaik, fresh frozen plasma dan konsentrasi platelet dapat diindikasikan.(5)
b. Intrauterin fetal death(5)
c. Emboli, syok yang berat sewaktu persalinan dapat disebabkan oleh emboli air ketuban. Setelah ketuban pecah ada kemungkinan air ketuban masuk ke dalam vena-vena tempat plasenta, endoserviks, atau luka lainnya. Air ketuban mengandung lanugo, verniks kaseosa, dan mekonium  dapat menimbulkan emboli karena dapat  menyumbat kapiler paru dan menimbulkan infark paru serta dilatasi jantung kanan. Emboli ini dapat menyebabkan kematian. Gejala yang timbul bila terjadi emboli yaitu sesak napas, sianosis, edema paru, syok, dan relaksasi otot-otot rahim dengan perdarahan pasca persalinan.(3)
d. Kerusakan ginjal, syok hipovolemik yang berat dapat menyebabkan gagal ginjal dengan diawali hemoglobinuria, kemudian oliguria atau anuria. Hal ini dapat merusak tubulus ginjal atau nekrosis pada korteks ginjal. Untuk itu pada kasus solusio plasenta yang berat harus dilakukan monitoring pengeluaran urine secara cermat. Pre-eklampsia sering menyertai solusio plasenta, vasospasme ginjal kemungkinan besar makin intensif. Bahkan apabila solusio plasenta disertai penyulit koagulasi intravaskular berat, terapi perdarahan secara dini dan agresif dengan darah dan kristaloid sering dapat mencegah disfungsi ginjal yang bermakna secara klinis. Atas alasan yang tidak diketahui, proteinuria sering dijumpai, terutama pada solusio plasenta yang berat. Proteinuria ini biasanya mereda segera setelah pelahiran.(1,5)
XII. PROGNOSIS
Prognosis untuk anak pada solutio plasenta yang berat adalah kematian anak 90%. Untuk ibu solusio plasenta juga merupakan keadaan yang berbahaya tapi dengan persediaan darah yang cukup dan penanganan yang baik, kematian dapat ditekan. Prognosis bergantung pada besarnya bagian plasenta yang terlepas, banyaknya perdarahan, beratnya hipofibrinogenemi, apakah perdarahan nampak atau tersembunyi dan lamanya keadaan solusio plasenta berlangsung.(18)
Mortalitas terhadap ibu terjadi karena adanya perdarahan sebelum dan sesudah partus, kerusakan organ terutama nekrosis korteks ginjal dan infeksi. Pada perdarahan eksternal, resiko yang terjadi pada ibu bergantung pada banyaknya darah yang hilang, namun kematian ibu jarang terjadi. Pada perdarahan yang tersembunyi, prognosisnya sulit diperkirakan. Komplikasi bisa hanya satu ataupun kombinasi. (1)Perdarahan bisa terjadi intraperitoneal ataupun hematoma pada ligamentum. (2) syok dapat terjadi berdasarkan jumlah darah yang keluar. (3)Gangguan pembekuan darah. (4) oliguria dan anuria biasanya dipengaruhi oleh syok hipovelemia. Faktor komplikasi bertanggung jawab atas peningkatan kematian ibu. Penanganan yang baik terhadap syok, kegagalan koagulasi dan gangguan ginjal, dapat menurunkan kematian ibu.(4,24)
Mortalitas terhadap anak lebih tinggi, hal ini bergantung pada pelepasan dari plasenta, bila yang terlepas lebih dari 1/3 maka kemungkinan kematian anak 100%. Selain itu juga bergantung pada prematuritas dan tindakan persalinan. Pada perdarahan eksternal kematian janin mencapai 25-30% dan pada perdarahan tersembunyi mencapai 50-100%. Kematian disertai dengan prematuritas dan anoxia karena pelepasan plasenta.(4,24)
DAFTAR PUSTAKA
1.      Cunningham, F. G; Gant, N. F; Levono, K. J; et all [ed]. Obstetri William. Volume 1. Edisi 21. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2006. h. 687-96, 34-52.
2.      Prawirohardjo, Sarwono. Perdarahan Pada Kehamilan Lanjut dan Persalinan. Ilmu Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: PT. Bina Pustaka; 2008. h. 503-506.
3.      Sastrawinata, Sulaiman. Perdarahan Antepartum. Obstetri Patologi. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2005. h. 91-97.
4.      Mochtar, Rustam. Perdarahan Antepartum (Hamil Tua). Sinopsis Obstetri. Edisi 2. Jilid 1. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1998. h. 279-287
5.      Hanretty, P Kevin. Vaginal Bleeding In Pregnancy. Obstetrics Illustrated. Sixth Edition. Philadelvia: Elsevier Science; 2003. h. 188-189.
6.      Bader, J Thomas. Antepartum Bleeding. OB/GYN SECRET. Third Edition. Philadelphia: Hanley and Belfus, INC; 2003. h. 279-281.
7.      Purnomo, Aris. Anatomi dan Fisiologi Saluran Reproduksi Wanita. 14 Juni 2010 guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
8.      Sastrawinata, Sulaeman. Anatomi alat-alat Reproduksi wanita. Obstetri Fisiologi. Bandung:Elstar Offset; 2004. h. 49-59
9.      Brown, Haywood. Normal Pregnancy. Stage of Development. November 2007 guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
10.  Sherwood, Lau ralee. Sistem Reproduksi. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. h. 722-726.
11.  Antepartum Hemorrhage. Obstetrics and Gynecology Principles for practice. Philadelvia: Elsevier Science; 2005. h. 277-283
12.  Israr, Yayan Akhyar. Karakteristik Kasus Solusio Plasenta. 16 Juni 2008 guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
13.  Yeo, Lami. Plasenta Abruption. Women Medicine 2008 guidelines. [Online]. 2011. Available from URL:
14.  Widjarnako, Bambang.  Solusio Plasenta. Informasi Reproduksi 2009 guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
15.  Manuaba, Ida Bagus Gde. Perdarahan Antepartum. Kapita Selekta Penatalaksanaan Rutin Obstetri Ginekologi dan KB. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2001. h. 436-441.
16.  Llewellyn, Derek-Jones. Perdarahan Antepartum. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Edisi 6. Sydney: Hipokrates; 2002. h. 111-112.
17.  Heller, Luz. Gawat Darurat Obstetri. Gawat Darurat Ginekologi dan Obstetri. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1997. h. 28-29.
18.  Sastrawinata, Sulaeman. Solutio Plasenta. Obstetri Patologi. Bandung: Eleman; 2004. h. 120-127.
19.  Taber, Ben-zion, MD. Abrupsio Plasenta. Kapita Selekta Kedaruratan Obstetri dan Ginekologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 1994. h. 330-335.
20.  Johnson, T Pamela. Placental Abruption. Case Review Obstetrics and Gynecologie Ultrasound. Philadelphia: Elsevier Science; 2001. h. 108
21.  Rosfanty, Viba. Plasenta Previa. 30 Juni 2009 guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
22.  Widjarnako, Bambang.  Ruptura Uteri. Informasi Reproduksi. 24 September 2009 guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
23.  Yoseph. Perdarahan Antepartum. Perdarahan Selama Kehamilan. 14 Februari 2011 guidelines. [online]. 2011. Available from URL:
24.  Dutta, D,C. Antepartum Haemorrhage.  Text Book of Obstetrics. Fourth edition. Calcutta: New Central Book Agency; 1998. h. 267-272.

Minggu, 12 Januari 2014

makalah ikterus



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
B. Tujuan
a.    Tujuan Umum
1.    Untuk mengetahui tentang kelainan neonates resiko tinggi yaitu mengenai ikterus.

b.    Tujuan Khusus
1.    Untuk mengetahui pengertian ikterus
2.    Untuk mengetahui penyebab dari ikterus neonatus
3.    Untuk mengetahui tanda dan gejala dari ikterus noenatus
4.    Untuk mengetahui penatalaksanaan ikterus neonates
5.    Untuk mengetahui jenis ikterus dan penatalaksanaannya

C. Manfaat
1.    Memberitahukan kepada pembaca akan penyakit ikterus
2.    Mengantisipasi jika ada tanda dan gejala ikterus pada bayi baru lahir
3.    Memberitahukan kepada pembaca penatalaksanaan penyakit ikterus


BAB II
Tinjauan Pustaka
A.Definisi
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.
B.Kejadian
Angka kematian bayi (AKB) di Indonesia, pada tahun 1997 tercatat sebanyak 41,4 per 1000 kelahiran hidup. Dalam upaya mewujudkan visi “Indonesia Sehat 2010”, maka salah satu tolok ukur adalah menurunnya angka mortalitas dan morbiditas neonatus, dengan proyeksi pada tahun 2025 AKB dapat turun menjadi 18 per 1000 kelahiran hidup. Salah satu penyebab mortalitas pada bayi baru lahir adalah ensefalopati bilirubin (lebih dikenal sebagai kernikterus). Ensefalopati bilirubin merupakan komplikasi ikterus neonatorum yang paling berat. Selain memiliki angka mortalitas yang tinggi, juga dapat menyebabkan gejala sisa berupa cerebral palsy, tuli nada tinggi, paralisis dan displasia dental yang sangat mempengaruhi kualitas hidup.
Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus. Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritosit pada neonatus lebih banyak dan usianya lebih pendek.
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya.
Pada kebanyakan kasus ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak memerlukan pengobatan. Sebagian besar tidak memiliki penyebab dasar atau disebut ikterus fisiologis yang akan menghilang pada akhir minggu pertama kehidupan pada bayi cukup bulan. Sebagian kecil memiliki penyebab seperti hemolisis, septikemi, penyakit metabolik (ikterus non-fisiologis).sedangkan ikterus patologis yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia yang dasar patologisnya seperti jenis bilirubin,saat timbul dan menghilangnya ikterus dan penyebabnya.
C.Parameter
1.    Ikterus fisiologis
Ikterus fisiologis adalah ikterus normal yang dialami oleh bayi baru lahir,tidak mempunyai dasar patologis sehingga tidak berpotensi menjadi kern ikterus.yang tanda-tandanya sebagai berikut :
a.    Timbul pada hari kedua dan ketiga setelah bayi lahir.
b.    Kadar bilirubin indirect tidak lebih dari 10mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5mg% pada neonatus kurang bulan
c.    Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak lebih dari 5mg% per hari
d.    Kadar bilirubin direct tidak lebih dari 1mg%
e.    Ikterus menghilang pada 10 hari pertama
f.     Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis

2.    Ikterus patologis
Ikterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis dengan kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia.tanda-tandanya sebagai berikut :
1)    Ikterus klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
2)    Peningkatan kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
3)    Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD, atau sepsis)
4)    Ikterus yang disertai oleh:
    • Berat lahir <2000 gram
    • Masa gestasi 36 minggu
    • Asfiksia, hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
    • Infeksi
    • Trauma lahir pada kepala
    • Hipoglikemia, hiperkarbia
    • Hiperosmolaritas darah
5)    Ikterus klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14 hari (pada NKB)
D.Gejala dan tanda klinis
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
  1. Dehidrasi
    • Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
  2. Pucat
    • Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
  3. Trauma lahir
    • Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
  1. Pletorik (penumpukan darah)
    • Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
  2. Letargik dan gejala sepsis lainnya
  3. Petekiae (bintik merah di kulit)
    • Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
  1. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
    • Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
  2. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
  3. Omfalitis (peradangan umbilikus)
  4. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
  5. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
  6. Feses dempul disertai urin warna coklat
    • Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
E.Etiologi
Hiperbilirubinemia dapat disebabkan oleh bermacam-macam keadaan. Penyebab yang tersering ditemukan disini adalah hemolisis yang timbul akibat inkompabilitas golongan darah ABO atau defisiensi enzim G6PD. Hemolisis ini juga dapat timbul akibat perdarahan tertutup (hematom cefal, perdarahan subaponeurotik) atau inkompabilitas darah Rh, infeksi juga memegang peranan penting dalam terjadinya hiperbilirubinemia; keadaan ini terutama terjadi pada penderita sepsis dan gastroenteritis. Beberapa faktor lain adalah hipoksia/anoksia, dehidrasi dan asidosis, hipoglikemia, dan polisitemia.
F.Gambaran klinis
Gambaran klinis yang paling nyata terlihat pada perubahan warna kulit dan sklera yang menjadi kuning.


G.Epidemiologi
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.
H.Patofisiologi
Bilirubin merupakan produk yang bersifat toksik dan harus dikeluarkan oleh oleh tubuh. Sebagian besar hasil bilirubin berasal dari degredasi hemoglobin darah dan sebagian lagi berasal dari hem bebas atau dari proses eritropoesis yang tidak efektif. Pembentukan bilirubin tadi dimulai dengan proses oksidasi yang menghasilkan biliverdin serta beberapa zat lain. Biliverdin inilah yang mengalami reduksi dan menjadi bilirubin bebas atau bilirubin IX alfa. Zat ini sulit larut dalam air tetapi larut dalam lemak, karena mempunyai sifat lipofilik yang sulit diekskresi dan mudah melalui membrane biologic seperti placenta dan sawar darah otak. Bilirubin bebas tersebut kemudian bersenyawa dengan albumin dan dibawa ke hepar.
Dalam hepar terjadi mekanisme ambilan, sehingga bilirubin terikat dengan oleh reseptor membran sel hati dan masuk ke dalam sel hati. Segera setelah ada dalam sel hati, terjadi persenyawaan dengan ligandin ( protein-Y), protein-Z, dan glutation hati lain yang membawanya ke reticulum endoplasma hati, tempat terjadinya proses konjugasi.
Proses ini timbul berkat adanya enzim glukoronil transferase yang kemudian menghasilkan bentuk bilirubin direk. Jenis bilirubin ini larut dalam air dan pada kadar tertentu dapat diekskresikan melalui ginjal. Sebagian besar bilirubin yang terkonjugasi ini diekskesi melalui duktus hepatikus ke dalam saluran pencernaan dan selanjutnya menjadi urobilinogen dan keluar dari tinja sebagai sterkobilin.Dalam usus sebagian diarbsorbsi kembali oleh mukosa usus dan terbentuklah proses arbsorpsi enterohepatik.
Sebagian besar neonatus mengalami peningkatan kadar bilirubin indirek pada hari-hari pertama kehidupan. Hal ini terjadi karena terdapatnya proses fisiologik tertentu pada neonatus.
Proses tersebut antara lain karena tingginya kadar eritrosit neonatus, masa hidup eritrosit yang lebuh pendek (80–90hari), dan belum matangnya fungsi hepar. Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian tersering adalah apabila terdapat pertambahan beban bilirubin pada sel hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit bayi/janin, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasienterohepatik.
Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein-Y berkurang atau pada keadaan protein-Y dan protein-Z terikat oleh anion lain, misalkan pada bayi dengan asidosis atau keadaan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang dapat memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan konjugasi hepar ( defisiensi enzim glukoronil transferase ) atau bayi menderita gangguan eksresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu ekstra/intrahepatik.
I.Diagnosis
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine,infeksiintranatal,dan lain-lain.Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari kemudian.
Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri.
Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubn langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi.
Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis hepatitis, fibrosis kistis dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, makamungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau patologis. Ikterus fisiologis. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1 – 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai puncak antara hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampaikadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7 kehidupan.Hiperbilirubin patologis. Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi , berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl pada bayi aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada kadar yang lebih rendah ( 10 – 15mg/dl)
J.Diagnosis banding
Ikterus yang timbul 24 jam pertatama kehidupan mungkin akibat eritroblstosis foetalis, sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya. Ikterus yang permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk adanya septicemia, atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemiahemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya.Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome”.
Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pylorus.
K.Ikterus neonatorum
Ikterus neonatorum atau bayi baru lahir berwarna kuning (Lousada,1997 dalam buku Pregnancy and Baby Care ) adalah kondisi munculnya warna kuning di kulit dan selaput mata pada bayi baru lahir karena adanya bilirubin (pigmen empedu) pada kulit dan selaput mata sebagai akibat peningkatan kadar bilirubin dalam darah (Ikterus adalah menguningnya sklera, kulit atau jaringan lain akibat penimbunan bilirubin dalam tubuh atau akumulasi bilirubin dalam darah lebih dari 5 mg/dl dalam 24 jam, yang menandakan terjadinya gangguan fungsional dari hepar, sistem biliary, atau sistem hematologi. Ikterus dapat terjadi baik karena peningkatan bilirubin indirek (unconjugated) dan direk ( conjugated ).
L. Jenis-jenis ikterus neonatorum dan Penatalaksanaannya
1.    Ikterus hemolitik
Yang berat umumnya merupakan suatu golongan penyakit yang disebut eritroblastosis fetalis atau morbus hemolitikus neonatorum.penyakit hemolitik ini biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ibu dan bayi.

a.    Inkompatibilitas rhesus
Sangat jarang di indonesia karna sering terjadi di negara bagian barat karna 15% penduduknya memiliki golongan darah rhesus negatif.bayi Rh positif dari ibu Rh negatif tidak selamanya menunjukan gajala-gejala klinik pada waktu lahir (15-20%).gejala klinik yang dapat terlihat adalah ikterus yang timbul pada hari pertama,dan semakin lama semakin berat disertai anemia yang berat pula.bila sebelum kelahiran terdapat hemolisis berat maka bayi lahir dengan oedema umum disertai ikterus dan pembesaran hepar dan lien(hidropsfoetalis).terapi yang ditujukan adalah dengan memperbaiki anemia dan mengeluarkan bilirubin yang berlebih dalam serum agar tak menjadi kern ikterus.

b.    Inkompatibilitas ABO
Akibat hemolisis inkompatibilitas golongan darah ABO.ikterus dapat terjadi pada hari pertama dan kedua dan bersifat ringan.bayi tidak tampak sakit,anemia ringan,hepar dan lien tidak membesar.ikterus dapat menghilang dalam beberapa hari.kalau hemolisisnya berat seringkali dilakukan transfusi tukar darah untuk mencegah kern ikterus.pemeriksaan yang dilakukan ialah pemeriksaan kadar bilirubin serum sewaktu-waktu.

c.    Penyakit hemolitik karna kelainan eritrosit konginetal
Golongan penyakit ini dapat menimbulkan gamabaran klinik yang menyerupai erotroblastosis fetalis akibat iso-imunisasi.pada penyakit ini bisanya coombs test biasanya negatif.beberapa penyakit lain yang termasuk disini adalah : sterositosis kongenital,anemia sel sabit,eliptositosis herediter.
2.Ikterus obstruktiva
Obstruksi dalam penyaluran empedu dapat terjadi didalam hepar dan diluar hepar.akibat obstruksi maka terjadi penumpukan bilirubun tidak langsung.bila kadarnya melebihi 1mg% maka dicurigai menyebabkan obstruksi misalnya pada sepsis,hepatitis neonatorum,pielonefritis,obstruksi saluran empedu.penyakit lain yang dapat menyebabkan ikterus obstruktiva ialah atresia biliaris ekstrahepatika,kista duktus koledokus,fibrosis kistik pankreas,kelainan-kelainan duodenum adnya pankreas yang menghalangi pengeluaran bilirubin melalui duktus koledokus.perlu diperiksa apakah langsung atau tidak langsung dan apakah terdapat bilirubin dalam air kencing dan tinja.jika perlu lakukan pembedahan.

a.Hepatitis neonatal
Penyakit hepar pada masa bayi baru lahir disebabkan olrh infeksi maupun bukan infeksi.hepatitis neonatal yang idiopatis ini mencakup bayi-bayi yang menderita ikterus obstrukitiva tanpa tanda dan gejala klinis hepatitis virus.
Gejala klinik
Akibat penumpukan bilirubin direk.ikterus dapat terjadi pada waktu lahir dengan peninggian kadar bilirubun direk pada darah umbilikus.biasanya terdapat hepatomegali dan splenomegali.obstruksi total bilirubin dapat terjadi yang ditanadai dengan feses yang akolis.diagnosis ditegakkan dengan pemeriksaan biopsi hati ditemukan hepatosis yang besarnya ireguler dan banyak ditemukan di sel datia.dan terdapat nekrosis dengan tanda-tanda peradangan .sel kupfer membengkak dan mengandung besi,pigmen empedu dan lipofuchsin (pada atresia biliaris) yang membedakan hanyalah proliferasi duktus biliaris portal hanya terdapat pada atresia biliaris.
Pengobatan
Pengobatan khusus hapatitis neonatal tidak ada selain pengobatan suportif.prognosis penyakit ini tidak baik biasanya bayi akan meninggal karana sirosis biliaris.
b.    Hepatitis virus
Ibu hamil dapat diserang oleh virus hepatitis A,B atau non A dan non B.pada hepatitis A transmisi transplasenta belum pernah dilaporkan dan hepatitis B atau non A dan non B sering terjadi.transmisi ini terjadi pada akhir kehamilan.pada infeksi akut transmisi ini terjadi pada postpartum bila ibu mendapat hepatitis B pada kehamilan,bayi dapat lahir dengan HB sAg yang psitif.transmisi terjadi melalui sekresi vagina,tetapi bisa juga dari ASI namun belum jelas.
Gejala klinik
Bayi mendapat infeksi hepatitis B dari ibunya biasanya asimptoma gangguan fungsi hepar biasanya minimum.gejala klinis seperti ikterus dapat terjadi dan disertai pembesaran hepar.bayi ini akan menjadi pembawa kuman yang infeksius dan menjadi sumber penularan untuk yang lain.
Pengobatan
Tidak ada pengobatan khusus yang perlu dilakukan pada ibu hamil yang HbsAg psitif bayinya perlu dilindungi sebagai berikut : segera setelah lahir bayi diberi suntikan HBIG dan langsung di vaksinasi dengan vaksin hepatitis B (selambatnya dalam waktu 2 jam),vaksinasi dilakukan 3kali denag interval 1 bulan atau sesuai dengan skema vaksinya digunakan.

3.Ikterus yang disebabkan oleh hal lain
Kadang kasus ini tidak dapat diterangkan dengan proses obstruksi.ikterus yang demikian biasanya menetap sesudah minggu pertama kehidupan dan bilirubin yang meningkat ialah bilirubin tidak langsung beberapa keadaan dapt pula menyebabkan ikterus neonatorum.
a. Pengaruh hormon atau obat yang mengurangi kesanggupan hepar untuk mengadakan konjugasi untuk bilirubin,misalnya pada brestmilk jaundice pemakaian novobiosin
b. Hipoalbuminemia : bilirubin yang berbahaya ialah bilirubin yang tidak langsung tidak terikat pada albumin.bila ada hipoalbiminemia yang sering terdapat adlah bayi prematur maka bilirubin tidak langsung yang bebas meningkat
c. Adanya obat atau zat kimia yang mengurangi ikatan bilirubin tidak langsung pada albumin misalnya: sulfafurazole,salisilat,heparin.obat-obatan mempunyai afinitas yang besar pada bilirubin daripada bilirubun langsung.
d. Sindroma crigler-najjar ialah suatu penyakit herediter pada panyakitnya ini tidak terdapat atau sangat kurang terdapat glukosa transferase dalam hepar.
e. Ikterus karna late feeding.penundaan pemberian makanan pada neonatus terutama pada bayi prematur dapat menyebabkan intensitas ikterus fisiologik bertambah.
f. Asidosis metabolik apat menyebabkan naiknya kadar bilirubin tidak langsung ke\arna mengurangi kesanggupan albumin mengikat bilirubin.
g. Pemakian vit.K misalnya dalam bentu menaphtone dapat meneyebabkan hiperbilirubinemia kalau dosis melebihi 10 mg %
h. Ikterus yang berhubungan dengan hipotiroidismus.ikterus yang lama pada penyakit ini mungkin disebabkan oleh belum sempurnanya pematangan hepar.
4. kern ikterus
Ensefalopatia oleh bilirubin merupakan suatu hal yang sangat ditakuti sebagai komplikasi hiperbilirubinemia.gejala klinik kern ikterus adalah berupa ikterus yang berat,letargia,tidak mau minum,muntah-muntah,sianosis,opistotonus dan kejang.kadang gejala klinik ini ditemukan dan bayi biasanya meninggal karna serangan apnea tetapi pada bedah mayat ditemukan kern ikterus.
Kern ikterus diserati dengan meningkatnya kadar biirubin tidak langsung dalam serum .pada neonatus cukup bulan dengan kadar bilirubin melebihi 20mg % sering keadaan berkembang menjadi kern ikterus.pada bayi prematur batas yang dikatakan aman adalah 18mg % kecuali bila kadar albumin serum lebih dari 3gr %.
Kadar albumin dalam darah dapat memberikan perlindungan terhadap kemungkinan terjadinya kern ikterus.sebaliknya pada neonatus yang menderita hipoksia,asidosis dan hipoglikemia kern ikterus dapat terjadi walaupun kadar albumin kurang dari 16mg %.
Dengan cahaya matahari tak langsung (solar therapy) bertujuan untuk memecah bilirubin senyawa dipirol yang nontoksik dan dikeluarkan melalui urine dan feses.indikasinya adalah kadar bilirubin darah lebih dari 10mg% setelah atau sebelum dilakukannya transfusi tukar darah.dapat digunakan disamping pemberian makan dini dan pemberian plasma dan kalori yang cukup.
M. Pencegahan dan penanganan hiperbilirubinemia
Dalam penanganan ikterus cara-cara yang dipakai untuk mencegah dan mengobati hiperbilirubinemia sampai saat ini cara-cara itu dibagi menjadi 3 cara:

1.Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin
a. Early feeding : pemberian makan dini neonatus dapat mengurangi terjadinya Ikterus fisiologik pada neonatus,karna adnya dorongan gerakan usus dan mekonium lebih cepat dikelurkan sehingga enterohepati bilirubin berkurang.
b. Pemberian agr-agar per os dapat mengurangi iktesu fisiologik.mekanismenya ialah menghalangi atau mengurangi peredaran bilirubin enterohepati.
c. Pemberian fenobarbital dapat menurunkan kadar bilirubin tidak langsung dalam serum bayi.khasiatnya mengadakan induksi enzim mikrosoma sehingga konjuasi bilirubin berlangsung lebih cepat.baik diberikan sesudah anak lahir maupun diberikan pada ibunya sebelum anak lahir dapat mencegah terjadinya ikterus fisiologik.
2.Mengubah bilrubin menjadi bentuk yang tidak toksik dan dapat dikeluarkan melalui ginjal dan usus misalnya dengan terapi sinar (phototerapy)
Dengan cahaya matahari tak langsung (solar therapy) bertujuan untuk memecah bilirubin senyawa dipirol yang nontoksik dan dikeluarkan melalui urine dan feses.indikasinya adalah kadar bilirubin darah lebih dari 10mg% setelah atau sebelum dilakukannya transfusi tukar darah.dapat digunakan disamping pemberian makan dini dan pemberian plasma dan kalori yang cukup.
Yang baik ialah terapi sinar.cremer (1958) melaporkan bahwa bayi penderita ikterus baiknya diberi sinar matahri lebih dari penyinaran yang biasa,ikterus lebih cepat menghilang dibandingkan bayi yang tidak disinari.penyelidikan sarjan-sarjana lain seperti Lucey (1968), Gianta dan Rath (1968) dan lain-lain menunjukan bahwa terapi sinar dengan menggunakan sinar buatan juga memberi hasil yang baik.dengan terapi sinar bilirubin serum dapat turun dengan cepat 1 sampai 4mg % dalam 24 jam.
Bila terdapat kesulitan dalam melakukan penilaian atau pemeriksaan kadar bilirubin maka dapat digunakan ikterometer.yang terdiri dari bahan yang tembus cahaya dan mempunyai skala 1-5 yang dinyatakan dengan warna-warna.kalau bilirubin mencapai angka 3 pada ikterometer maka dibutuhkan kadar bilirubin yang sebenarnya walaupun penilaian ini agak kasar akan tetapi dengan mengawasi perkembangan intensitas ikterus.metode ini telah dicoba dengan baik dibandung oleg ruskandi dan kawan-kawan.
Penentuan kadar bilirubin menurut cramer digunakan cara timbulnya ikterus ialah menurut aturan tertentu yaitu sefalokaudal karna itu ia membagi-bagi tubuh manusia dalam zona-zona tertentu dan menentukan kira-kira kadar bilirubinnya.jelas sekali walaupun penilai kadar bilirubin dengan kedua cara ini tidak diteliti tetapi dapat memberi gambaran mengenai intensitas ikterus manakala fasilitas tidak ada.
3. Mengeluarkan bilirubin dari peredaran darah yaitu dengan transfusi tukar darah.
Cara yang paling tepat untuk mengobati hiperbilirubinemia pada neonatus ialah transfusi darah.transfusi tukar darah pada Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta diberikan dalm kasus-kasus berikut :
Indikasi
a. Diberikan pada semua kasus ikterus dengan kadar bilirubin tidak langsung yang lebih dari 20mg %
b. Pada bayi prematur transfusi darah dapat diberikan walaupun kadar albumin kurang dari 3,5 gr / 100ml.
c. Pada kenaikan yang cepat bilirubin tidak langsung serum bayi pada hari pertama (0,3 – 1 % / jam).hal ini terutama pada inkompatibilitas golongan darah.
d. Anemia yang berat pada neonatus dengan tanda-tanda dekompensasi jantung
e. Bayi menderita ikterus dengan kadar Hb.darh talipusat kurang dari 14 mg % dan coombs test langsung positif.
Alat-alat yang diperlukan
a. Semprit 2 cabang
b. Dua buah semprit berukuran 5-10 ml yang berisi Ca-glukonat 10 % dan larutan heparin encer (2ml masing-masing 1000 U dalam 250 ml NaCL 0,9%)
c. Kateter polietilen kecil 15-20cm atau pipa lambung berukuran F5-F8
d. Bengkok dan botol kosong
e. Alat pembuka vena (vena seksi)
f. Alat resusitasi ,seperti oksigen,lariongoskop,ventilator,airway.
Teknik
a. Kosongkan lambung bayi (3-4 jam sebelumnya jangan diberi minum,bila memungkinkan 4 jam sebelumnya diberi infus albumin 1 gr /kg BB atau plasma manusia 20 ml/kg BB)
b. Lakukan teknik aseptik dan antiseptik
c. Awasi selalu tanda-tanda vital dan jaga agar jangan sampai kedinginan.
d. Bila talimpusat mesih segar,potong kurang lebih 3,5cm dari dinding perut bila talipusat sudah kering potong rata dengan dinding perut untuk mencegah bahaya perdarahan tali pusat,lalu buat jahitan laso dipangkal tali pusat.
e. Kateter polietilen diisi dengan larutan heparin kemudian salah satu ujungnya dihubungkan dengan semprit 3 cabang sedangkan ujung yang lain dimasukan dalam vena umbilikus sedalam 4-5cm.
f. Periksa tekanan pada vena umbilikalis dengan mencabut ujung luar dan mengangkat kateter naik kurang lebih 6cm.
g. Dengan mengubah-ubah keran pada semprit 3 cabang,lakukan penukaran dengan cara mengeluarkan 20ml darah dan memasukan 20ml darah.demikian hingga berulang-ulang sampai jumlah total yang keluar adalah 190ml/kg BB dan darah masuk adalah 170ml/kg BB.selama proses pertukaran semprit harus sering dibilas dengan heparin.
h. Setelah darah masuk sekitar 150ml lanjutkan memasukan Ca glukonat 10% sebanyak 1,5ml dan perhatikan denyut jantung bayi.apabila lebih dari 100kali per menit waspadai adanya henti jantung. 16
i. Bila vena umbilikalis tak dapat dipakai maka gunakan vena safena magna kurang lebih 1cm dibawah ligamentum inguinal dan medial dari arteri femoralis.
Perawatan setelah transfusi tukar darah:
a. Vena umbilikalis dikompres dengan larutan garam fisiologik supaya tetap basah seandainya masih diperlukan transfusi tukar lagi.kateter di umbilikus dapat ditinggalkan dan ditutup secara steril.
b. Bayi perlu diberi antibiotika spektrum luas
c. Kadar Hb dan bilirubin diperiksa setiap 12 jam
d. Sesudah transfusi bayi dapat diberi terapi sinar.kalau perlu transfusi tukar darah dapat di ulang

4.ikterus pemberian ASI
Ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI disebabkan oleh peningkatan bilirubin indirek. Ada 2 jenis ikterus yang berhubungan dengan pemberian ASI, yaitu (1) Jenis pertama: ikterus yang timbul dini (hari kedua atau ketiga) dan disebabkan oleh asupan makanan yang kurang karena produksi ASI masih kurang pada hari pertama dan (2) Jenis kedua: ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama, bersifat familial disebabkan oleh zat yang ada di dalam ASI.
Metabolisme bilirubin
Penumpukan bilirubin merupakan penyebab terjadinya kuning pada bayi baru lahir. Bilirubin adalah hasil pemecahan sel darah merah (SDM). Hemoglobin (Hb) yang berada di dalam SDM akan dipecah menjadi bilirubin. Satu gram Hb akan menghasilkan 34 mg bilirubin.
Bilirubin ini dinamakan bilirubin indirek yang larut dalam lemak dan akan diangkut ke hati terikat oleh albumin. Di dalam hati bilirubin dikonyugasi oleh enzim glukoronid transferase menjadi bilirubin direk yang larut dalam air untuk kemudian disalurkan melalui saluran empedu di dalam dan di luar hati ke usus.
Di dalam usus bilirubin direk ini akan terikat oleh makanan dan dikeluarkan sebagai sterkobilin bersama bersama tinja. Apabila tidak ada makanan di dalam usus, bilirubin direk ini akan diubah oleh enzim di dalam usus yang juga terdapat di dalam air susu ibu (ASI), yaitu beta-glukoronidase menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali dari dalam usus ke dalam aliran darah. Bilirubin indirek ini akan diikat oleh albumin dan kembali ke dalam hati. Rangkaian ini disebut sirkulus enterohepatik (rantai usus-hati).
Bayi yang mendapat ASI eksklusif dapat mengalami ikterus. Ikterus ini disebabkan oleh produksi ASI yang belum banyak pada hari hari pertama. Bayi mengalami kekurangan asupan makanan sehingga bilirubin direk yang sudah mencapai usus tidak terikat oleh makanan dan tidak dikeluarkan melalui anus bersama makanan.
Di dalam usus, bilirubin direk ini diubah menjadi bilirubin indirek yang akan diserap kembali ke dalam darah dan mengakibatkan peningkatan sirkulasi enterohepatik. Keadaan ini tidak memerlukan pengobatan dan jangan diberi air putih atau air gula. Untuk mengurangi terjadinya ikterus dini perlu tindakan sebagai berikut :
  • bayi dalam waktu 30 menit diletakkan ke dada ibunya selama 30-60 menit
  • posisi dan perlekatan bayi pada payudara harus benar
  • berikan kolostrum karena dapat membantu untuk membersihkan mekonium dengan segera. Mekonium yang mengandung bilirubin tinggi bila tidak segera dikeluarkan, bilirubinnya dapat diabsorbsi kembali sehingga meningkatkan kadar bilirubin dalam darah.
  • bayi disusukan sesuai kemauannya tetapi paling kurang 8 kali sehari.
  • jangan diberikan air putih, air gula atau apapun lainnya sebelum ASI keluar karena akan mengurangi asupan susu.
  • monitor kecukupan produksi ASI dengan melihat buang air kecil bayi paling kurang 6-7 kali sehari dan buang air besar paling kurang 3-4 kali sehari.
Ikterus karena ASI
Iketrus karena ASI pertama kali didiskripsikan pada tahun 1963. Karakteristik ikterus karena ASI adalah kadar bilirubin indirek yang masih meningkat setelah 4-7 hari pertama, berlangsung lebih lama dari ikerus fisiologis yaitu sampai 3-12 minggu dan tidak ada penyebab lainnya yang dapat menyebabkan ikterus. Ikterus karena ASI berhubungan dengan pemberian ASI dari seorang ibu tertentu dan biasanya akan timbul ikterus pada setiap bayi yang disusukannya. Selain itu, ikterus karena ASI juga bergantung kepada kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek (misalnya bayi prematur akan lebih besar kemungkinan terjadi ikterus).
Penyebab ikterus karena ASI belum jelas tetapi ada beberapa faktor yang diperkirakan memegang peran, yaitu :
  • terdapat hasil metabolisme hormon progesteron yaitu pregnane3-α 20 betadiol di dalam ASI yang menghambat uridine diphosphoglucoronic acid (UDPGA)
  • peningkatan konsentrasi asam lemak bebas yang nonesterified yang menghambat fungsi glukoronid transferase di hati
  • peningkatan sirkulasi enterohepatik karena adanya peningkatan aktivitas ß glukoronidase di dalam ASI saat berada dalam usus bayi.
  • defek pada aktivitas uridine diphosphate-glucoronyl transferase (UGT1A1) pada bayi homozigot atau heterozigot untuk varian sindrom Gilbert
Diagnosis ikterus karna ASI
Semua penyebab ikterus harus disingkirkan. Orangtua dapat ditanyakan apakah anak sebelumnya juga mengalami ikterus. Sekitar 70% bayi baru lahir yang saudara sebelumnya mengalami ikterus karena ASI akan mengalami ikterus pula.
Beratnya ikterus bergantung pada kematangan hati untuk mengkonyugasi kelebihan bilirubin indirek ini.
Untuk kepastian diagnosis apalagi bila kadar bilirubin telah mencapai di atas 16 mg/dl selama lebih dari 24 jam adalah dengan memeriksa kadar bilirubin 2 jam setelah menyusu dan kemudian menghentikan pemberian ASI selama 12 jam (tentu bayi mendapat cairan dan kalori dari makanan lain berupa ASI dari donor atau pengganti ASI dan ibu tetap diperah agar produksi ASI tidak berkurang). Setelah 12 jam kadar bilirubin diperiksa ulang, bila penurunannya lebih dari 2 mg/dl maka diagnosis dapat dipastikan.Bila kadar bilirubin telah mencapai < 15 mg/dl, maka ASI dapat diberikan kembali. Kadar bilirubin diperiksa ulang untuk melihat apakah ada peningkatan kembali.
Pada sebagian besar kasus penghentian ASI untuk beberapa lama akan memberi kesempatan hati mengkonyugasi bilirubin indirek yang berlebihan tersebut, sehingga apabila ASI diberikan kembali kenaikannya tidak akan banyak dan kemudian berangsur menurun.
Apabila kadar bilirubin tidak turun maka penghentian pemberian ASI dilanjutkan sampai 18-24 jam dengan mengukur kadar bilirubin setiap 6 jam. Apabila kadar bilirubin tetap meningkat setelah penghentian pemberian ASI selama 24 jam maka jelas penyebabnya bukan karena ASI. ASI boleh diberikan kembali sambil mencari penyebab ikterus lainnya.
Tatalaksana
Pada hiperbilirubinemia, bayi harus tetap diberikan ASI dan jangan diganti dengan air putih atau air gula karena protein susu akan melapisi mukosa usus dan menurunkan penyerapan kembali bilirubin yang tidak terkonyugasi. Pada keadaan tertentu bayi perlu diberikan terapi sinar. Transfusi tukar jarang dilakukan pada ikterus dini atau ikterus karena ASI. Indikasi terapi sinar dan transfusi tukar sesuai dengan tata laksana hiperbilirubinemia.
Yang perlu diperhatikan pada bayi yang mendapat terapi sinar adalah sedapat mungkin ibu tetap menyusui atau memberikan ASI yang diperah dengan menggunakan cangkir supaya bayi tetap terbangun dan tidak tidur terus. Bila gagal menggunakan cangkir, maka dapat diberikan dengan pipa orogastrik atau nasogastrik, tetapi harus segera dicabut sehingga tidak mengganggu refleks isapnya. Kegiatan menyusui harus sering (1-2 jam sekali) untuk mencegah dehidrasi, kecuali pada bayi kuning yang tidur terus, dapat diberikan ASI tiap 3 jam sekali. Jika ASI tidak cukup maka lebih baik diberikan ASI dan PASI bersama daripada hanya PASI saja.
Ikterus dini yang menetap lebih dari 2 minggu ditemukan pada lebih dari 30% bayi, sehingga memerlukan tata laksana sebagai berikut :
  1. jika pemeriksaan fisik, urin dan feses normal hanya diperlukan observasi saja.
  2. dilakukan skrining hipotiroid
  3. jika menetap sampai 3 minggu, periksa kadar bilirubin urin, bilirubin direk dan total.
Manajemen & penyimpanan ASI
Pada ikterus dini dan ikterus karena ASI diperlukan manajemen ASI yang benar. Pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan tanpa diberikan apa-apa selain ASI. Pemberian ASI eksklusif akan berhasil bila terdapat perlekatan yang erat. Bayi disusui segera setelah lahir, sering menyusui dan memerah ASI.
Perlekatan yang baik bila sebagian besar areola masuk ke mulut bayi, mulut bayi terbuka lebar, dan bibir bawah terputar ke bawah. Pada ikterus karena ASI yang ‘terpaksa’ harus menghentikan ASI untuk sementara, sebaiknya diberikan pengganti ASI dengan tidak menggunakan dot, tapi menggunakan sendok kecil atau cangkir. ASI harus sering diperah dan disimpan dengan tepat terutama pada ibu yang bekerja. Berikut adalah cara menyimpan ASI yang diperah:
1.    ASI yang telah diperah dan belum diberikan dalam waktu 30 menit, sebaiknya disimpan dalam lemari es.
2.    ASI dapat disimpan selama 2 jam dalam lemari es dengan menggunakan kontainer yang bersih, misalnya plastic
3.    ASI yang diperah harus tetap dingin terutama selama dibawa transportasi.
4.    ASI yang tidak digunakan selama 48 jam, sebaiknya didinginkan di freezer dan dapat disimpan selama 3 bulan.
5.    Sebaiknya diberi label tanggal pada ASI yang diperah, sehingga bila akan digunakan, ASI yang awal disimpan yang digunakan.
6.    Jangan memanaskan ASI dengan direbus, cukup direndam dalam air hangat. Juga jangan mencairkan ASI beku langsung dengan pemanasan, pindahkan dahulu ke lemari es pendingin agar mencair baru dihangatkan
Dengan manajemen ASI yang benar diharapkan bayi dapat diberikan ASI secara eksklusif sekalipun mengalami ikterus.
N.Komplikasi dan Dampaknya bagi Bayi
Kern ikterus sudah masuk dalam komplikasi.Kern ikterus adalah suatu sindrom neurologik yang timbul sebagai akibat penimbunan tak terkonjugasi dalam sel-sel otak.ditandai dengan kadar bilirubin darah yang tinggi lebih dari 20mg% pada bayi cukup bulan atau kurang dari 18mg% pada bayi berat lahir rendah.disertai dengan gejala kerusakan otak dan mataberputar ,tak mau menghisap, tonus otot meningkat,leher kaku,epistotonus,sianosis serta dapat juga dikuti dengan ketulian,gangguan dan retardasi mental di kemudian hari.
O.Prognosis
Hiperbilirubemia baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar otak.(hiperbilirubinemia)
P.Terapi para tenaga medis
Sesaat setelah bayi lahir seorang bidan yang kritis maka akan secepat mungkin mengambil kesimpulan bahwa anak mengalami ikterus dan bidan tugasnya memberi konseling kepada ibu agar memberi ASI setelah kelahiran hingga 6 bulan.
kemudian jelaskan bahwa didalam ASI terdapat zat yang dapat mencegah bayi terkena penyakit ikterus yang dikleuarkan dari feses dan urine,namun harus tetap dalam pengawasan dokter dan apabila sudah dalam keadaan yang lebih gawat bidan harus menganjurkan ibu agar konsultasi ke dokter spesialis karna ini bukan merupakan wewenang bidan lagi, dan ingat papun jenisya, jika pembaca mendapati bayi kuning, sebaiknya konsultasi kepada dokter atau dokter spesialis anak.
Meski disebutkan bahwa bayi kuning sebagian besar diantaranya karena proses alami (fisiologis) dan tidak perlu pengobatan, seyogyanya para orang tua tetap waspada, mengingat bayi masih dalam proses tumbuh kembang. Karenanya, konsultasi kepada dokter atau dokter spesialis anak adalah langkah bijaksana.
Bayi berwarna (kelihatan) ‘kuning’ dalam istilah medis dinamakan dengan ikterus neonatus. Hal ini terjadi dapat dikarenakan meningkatnya kadar bilirubin dalam darah hingga melebihi ambang batas normal. Gejalanya adalah kulit dan bagian putih mata tampak kuning tapi suhu badan normal. Untuk bayi yang lahir cukup bulan, kadar bilirubin-nya adalah 12,5 mg/dl (miligram per desiliter) darah. Sedangkan bayi yang lahir kurang bulan, kadar bilirubin-nya aman pada 10 mg/dl darah.
Bilirubin adalah zat hasil pemecahan hemoglobin (protein sel darah merah yang mengangkut oksigen). Hemoglobin terdapat dalam eritrosit (darah merah) yang setiap waktu mengalami pemecahan yang akan menghasilkan heme dan globin. Dalam proses berikutnya, zat-zat tersebut akan berubah menjadi bilirubin bebas atau indirect.
Dalam kadar tinggi, bilirubin bebas ini bersifat racun, sulit dibuang dan sulit larut dalam air. Guna menetralisirnya, hati akan mengubah bilirubin indirect menjadi direct yang dapat larut dalam air. Nah, masalahnya organ hati pada sebagian bayi baru lahir belum dapat berfungsi optimal. Barulah setelah beberapa hari organ hati akan mengalami pematangan dan proses pembuangan bilirubin dapat berlangsung lancar.
Masa pematangan (optimalisasi) organ hati pada setiap bayi berbeda-beda. Akan tetapi pada umumnya pada hari ketujuh mulai berfungsi baik, maksimal 10 hari sudah berfungsi baik. Sehingga setelah berumur 7 hari, rata-rata kadar bilirubin bayi mulai normal.
Jika bayi sampai hari ketujuh dam maksimal 10 hari setelah lahir belum menunjukan kadar bilirubin normal maka orang tua harus waspada. Segera periksakan ke dokter, sebab bisa jadi ini bukan faktor fisiologis (alamiah) akan tetapi ada penyakit (patologis) dibalik ini semua.
Pada bayi yang kuning karena faktor fisiologis biasanya terjadi pada 2-4 hari setelah lahir dan akan sembuh pada hari ketujuh, sebab organ hati sudah mengalami pematangan fungsi dalam memroses bilirubin. Jadi bayi kuning karena hiperbilirubin fisiologis adalah gejala biasa.
Sementara itu hiperbilirubin yang disebabkan oleh penyakit (Ikterus neonatus patologis), misalnya dapat diakibatkan karena virus hepatitis, malaria, sifilis, toksoplasma, kelainan pada saluran empedu maupun karena ketidakcocokan rhesus (golongan darah). Bayi masih saja kuning meskipun sudah berusia 14 hari. Dan ini pasti disertai dengan panas yang tinggi (demam) serta berat badan tidak bertambah.
Penanganan atau terapi yang dapat dilakukan pada bayi yang kuning karena penyakit ini antara lain :
Fenobarbital. Meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin. Pemberian obat ini akan mengurangi timbulnya ikterus fisiologik pada bayi neonatus, kalau diberikan pada ibu dengan dosis 90 mg/24 jam beberap hari sebelum kelahiran atau bayi pada saat lahir dengan dosis 5 mg/kgBb/24 jam. Pada suatu penelitian menunjukan pemberian fenobarbital pada ibu untuk beberapa hari sebelum kelahiran baik pada kehamilan cukup bulan atau kurang bulan dapat mengkontrol terjadinya hiperbilirubinemia. Namun karena efeknya pada metabolisme bilirubin biasanya belum terwujud sampai beberapa hari setelah pemberian obat dan oleh karena keefektifannya lebih kecil dibandingkan fototerapi, dan mempunyai efek sedatif yang tidak diinginkan dan tidak menambah respon terhadap fototerapi, maka fenobarbital tidak dianjurkanuntuk pengobatan ikterus pada bayi neonatus.
Fototerapi (terapi sinar). Dilakukan selama 24 jam atau setidaknya sampai kadar bilirubin dalam darah kembali pada batas normal. Dengan fototerapi, bilirubin dapat dipecah dan mudah larut tanpa harus diubah dulu oleh organ hati. Ini juga sebagai upaya agar kadar bilirubin tidak terus meningkat karena akan berakibat fatal.
Pada terapi sinar, seluruh pakaian bayi dilepas kecuali pada mata dan alat kelamin harus ditutupi dengan kain kasa, sebab pertumbuhan mata bayi belum sempurna jika terkena cahaya berlebihan dikhawatirkan akan merusak retinanya. Demikian pula dengan alat kelaminnya, agar kelak tidak terjadi kelainan pada proses reproduksinya seperti kemandulan dan sebagaianya.
Meskipun efektif tetap harus waspada. Sebab fototerapi terkadang menjadikan bayi malas minum sehingga terjadi dehidrasi. Pemecahan bilirubin justru akan memacu pengeluaran cairan empedu ke usus sehingga memacu diare. Untuk itulah bayi harus tetap diberikan susu ASI selama proses terapi berlangsung.
Terapi Transfusi Tukar. Apabila dengan penyinaran (fototerapi) masih saja tidak ada perubahan maka perlu dilakukan transfusi tukar. Artinya darah bayi yang sudah teracuni dibuang dan ditukar darah lain yang tidak teracuni. Hal ini dilakukan karena dikhawatirkan apabila kadar bilirubin terus meningkat hingga 20 mg/dl darah maka akan menimbulkan kerusakan sel otak, sehingga akan berefak pada gangguan pada anak seperti keterbelakangan mental, gangguan motorik maupun bicara serta gangguan pendengaran dan penglihatan.
Pemberian ASI secara optimal. Bahwa perlu diingat, bilirubin dapat dipecah apabila bayi mengeluarkan feses dan urin. Sehingga pemberian ASI harus diberikan sebab ASI sangat efektif dalam memperlancar buang air besar dan air kecil. Namun demikian, pemberiannya harus tetap dalam pengawasan dokter, sebab pada beberapa kasus justru ASI dapat meningkatkan bilirubin sehingga bayi semakin ‘kuning’.
Terapi Sinar Matahari. Ini merupakan terapi tambahan atau bahkan terapi awalan. Bisa dilakukan ketika bayi belum mendapatkan terapi yang lain atau bisa juga setelah selesai perawatan dari rumah sakit. Terapi ini dilakukan dengan ‘menjemur’ bayi dibawah sinar mentari pagi antara jam 7 hingga 9 selama sekitar setengah jam dengan dilakukan ‘variasi’ posisi (telentang dan tengkurap maupun miring).
Untuk terapi sinar matahari ini harus diingat bahwa jangan membuat posisi bayi melihat langsung matahari karena dapat merusak mata. Serta jangan melebihi jam 9 karena intensitas ultraviolet sangat kuat dan akan merusak kulit bayi.
Demikian ini sedikit hasil investigasi saya mengapa bayi baru lahir terkadang berwarna kuning. Dan dari pengalaman saya ketika secara tidak sengaja membuka hasil foto-fotonya si Najwa di laptop ternyata sangat kentara kuningnya, padahal dilihat biasa tidak kelihatan kuning. Jadi terkadang hanya dilihat sekilas atau apalagi penerangan ruangan yang redup seolah bayi tersebut nggak kuning padahal setelah dibawa keluar atau difoto terlihat kuning.
Q.Pemeriksaan penunjang
  1. Kadar bilirubin serum (total)
  2. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi
  3. Penentuan golongan darah dan Rh dari ibu dan bayi
  4. Pemeriksaan kadar enzim G6PD
  5. Pada ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati, uji fungsi tiroid, uji urin terhadap galaktosemia.
  6. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, urin, IT rasio dan pemeriksaan C reaktif protein (CRP).


Penilaian Ikterus menurut Kramer
Daerah
Luas Ikterus
Kadar Bilirubin
1
Kepala dan leher
5 mg%
2
Daerah 1 + badan bagian atas
9 mg%
3
Daerah 1, 2 + badan bagian bawah dan tungkai
11 mg%
4
Daerah 1, 2, 3 + lengan dan kaki di bawah dengkul
12 mg%
5
Daerah 1, 2, 3, 4 + tangan dan kaki
16 mg%
            (Sarwono,2008)



BAB III
ASUHAN KEBIDANAN
PADA BAYI “A” UMUR 3 HARI DENGAN IKTERUS NEONATORUM
DI RUANG PERAWATAN PERINATAL RESIKO TINGGI RSUD ARIFIN ACHMAD
TANGGAL 13 DESEMBER 2012

Tanggal Masuk : 13-12-2012                                             Jam                 : 1100 WIB
Ruangan         :                                                                     No. MR           :
Tgl. Pengkajian : 13-12-2012                                             Dikaji o/ MHS : Kelompok4

1.    Pengkajian
A.   IDENTITAS
Nama bayi           : by. T
Umur bayi            : 3 jam
Tgl/jam/lahir        : 13-12-2012 / 08.00 wib
Jenis kelamin     : laki-laki
Berat badan        : 2900 gram
Panjang badan  : 49 cm

Nama Ibu             :Ny. A                                     Nama Suami : Tn. Y
Umur                    : 24 Tahun                             Umur              : 27 Tahun
Suku Bangsa     : Jawa/Indonesia                  Suku Bangsa           : Jawa/Indonesia
Agama                 : Islam                                     Agama           : Islam
Pendidikan         :D III                                        Pendidikan   : S 1
Pekerjaan            : Ibu Rumah Tangga           Pekerjaan      : Wiraswasta
Alamat                  : Jl. Cendrawasih                

B.   ANAMNESA
1.    Riwayat selama kehamilan
Penrdarahan                        : tidak ada
Preeklamsia              : tidak ada
Eklamsia                    : tidak ada
Penyakit kelamin     : tidak ada
2.    Riwayat persalinan sekarang
Kelahiran tunggal/ganda               : tunggal
Jenis persalinan                              : normal
Ditolong oleh                                                : bidan
Ketuban pecah                                : jernih
Keadaan dan jumlah air ketuban : ± 1200 cc

Plasentanya lahir                            : lengkap
Tali pusat                                           : normal, ±50 cm
Komplikasi persalinan
            Ibu      : tidak ada
            Janin  : tidak ada

C.   Pemerikasaan fisik
1.    Pemeriksaan khusus
Apakah air ketuban jernih bercampur meconium         : jernih
Apakah bayi bernafas spontan                                         : ya
Apakah kulit bayi berwarna kemerahan                          : ya
Apakah tonus/kekuatan bayi cukup                                : ya
Apakah ini kehamilan cukup bulan                                 : tidak


Sidik telapak kaki kiri bayi
Sidik telapak kaki kanan bayi



2.    Pemeriksaan umum
a.    Keadaan umum             : kurang baik
b.    Kesadaran                      : composmentis
c.    Tanda-tanda vital
Nadi                                  : 140x/I          
Suhu                                : 37.1°C
Pernafasan                     : 38x/i
LK                                     : 36 cm
BB                                     : 2000 gram
LD                                     : 34 cm


3.    Pemeriksaan umum secara sistemis
a.    Kepala     : terlihat kuning                   
b.    Muka        : bulat                        
c.    Mata         : simetris +/+             
d.    Telinga     : simetris +/+             
e.    Mulut        : bersih
f.     Hidung     : simetris +/+, tidak ada polip
g.    Leher        : terlihat kuning
h.    Dada        : terlihat kuning
i.      Perut        : normal
j.      Tali pusat : normal
k.    Punggung : normal
l.      Ekstremitas:  aktif
m.   Genitalia  : normal
n.    Rektum    : ada
o.    Kulit          : terlihat kuning

4.    Refleks
a.    Reflek moro                                : ada
b.    Reflek rooting                             : ada
c.    Reflek sucking                           : ada
d.    Reflek grasping/plantar                        : ada
e.    Reflek tonik neck                       : ada
f.     Reflek staping                            : ada
g.    Reflek babin sky                                    : ada

5.    Antropometri
a.    Lingkar kepala                : 36 cm
b.    Lingkar dada                   : 34 cm
c.    Lingkar lengan atas      : 12 cm
d.    Berat  badan                   : 2000 gram
e.    Panjang badan              : 49 cm

6.    Eliminasi
a.    Urine                    : 1 x sehari
b.    Meconium           : -

D.   PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hb :           12,4 g /dL
Bilirubin total 8.13 ml/dL . referensi rentang nilai 0 – 1.1 . keterangan : high
           
            A : Diagnosa             :           Bayi “A” umur 3 jam dengan ikterus neonatorum.
Dasar                   :           Lahir dengan partus normal
                              Tanggal 13 Desember 2012 , pukul 08.00 wib dengan umur kehamilan 38 minggu BB : 2000 gram
                                          PB : 49 cm, LK/LD : 36/34 cm
                                         
                                          bilirubin 8.13mg/dL.
Masalah               : ikterus kramer II
Dasar                   : bayi kuning pada bagian kepala, leher dan bagian atas
Masalah Potensial         :          
·         Resiko terjadi dehidrasi
·         Resiko terjadi infeksi




P :
1.    Informasikan hasil pemeriksaan kepada orang tua
2.    Berikan ASI
3.    Kolaborasi dengan dokter Sp.A mengenai terapi dan tidakan yang diberikan.
4.    Rawat bayi dalam incubator.
5.    Observasi KU dan TTV setiap 4 jam dan jika dirasakan KU bayi berubah.
6.    Lakukan pencegahan infeksi seperti cuci tangan, ganti baju bila : mandi, basah terkena muntahan,kotor. Ganti popok bila BAK/BAB.
7.    Terapi : fototerapi 1 x 24 jam , cefotakxime 2 x 150 mg (im), Rob 1 x 0,3 mL, ASI, rawat dalam incubator suhu 30oC.








BAB IV
PENUTUP
A.Kesimpulan
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak dikendalikan.
Penanganan ikterus neonatorum sangat tergantung pada saat terjadinya ikterus, intensitas ikterus (kadar bilirubin serum) jenis bilirubin,dan sebab terjadinya ikterus. Untuk mendaptkan peganagn yang baik,pengobatan dan pemeriksaan-pemeriksaan yang perlu dilakukan didasarkan pada timbulnya ikterus naiknya kadar bilirubin serum.
B.Saran
waspadai tanda dan gejala sedini mungkin anak mengalami ikterus,orang tua perlu perhatikan pada anak jika terjadi Dehidrasi/Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah),Pucat Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular,Trauma lahir:Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.Pletorik (penumpukan darah) : Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK Letargik dan gejala sepsis lainnya serta Petekiae (bintik merah di kulit).jika bayi dalam keadaan seperti ini maka orang tua perlu mencurigai akan tanda-tanda bahwa bayi mengalami ikterus dan segera konsultasikan ke dokter atau dokter spesialis anak.



DAFTAR PUSTAKA
Buku Ilmu Kebidanan 2007 edisi 3,Jakarta Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
Bobak.2004.buku ajaran keperawatan maternitas.jakarta:EGC.
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2008. Ilmu kesehatan anak untuk pendidikan kebidanan. Jakarta : Salemba Medika
Hamilton,P.M. 1995 . Dasar-dasar keperawatan maternitas .Jakarta :EGC
Helen Farrer RN RM . 1999. Perawatan maternitas. Jakarta : EGC
www.patologis neonatus.com
www.ikterus pada bayi baru lahir.com
http://penyakit bbl.blogspot.com/2009/05/patologis.html
www.gangguan kesehatan bbl.com